Wednesday, February 8, 2012

Melihat Aurat Ketika Shalat


Selayaknya orang yang shalat berusaha untuk khusyu. Karena khusyu merupakan jantungnya shalat. Karena itu, dia harus menjaga agar selalu khusyu, sehingga shalatnya bisa sempurna.
Beberapa hadis berikut merupakan dalil yang menunjukkan pentingnya upaya menjaga khusyu ketika shalat :
Pertama, hadis riwayat A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah shalat dengan memakai baju yang ada luriknya. Tiba-tiba sekilas beliau melihat motif luriknya. Setelah selesai shalat, beliau bersabda:
اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي
“Kembalikan bajuku ini kepada Abu Jahm, dan berikan aku baju Ambijaniyah. Karena baju ini telah mengganggu konsntrasiku ketika shalat” (HR. Bukhari & Muslim)
Disebutkan dalam riwayat yang lain, dari A’isyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي
“Saya melihat motif baju ini ketika shalat, dan saya khawatir baju ini akan selalu menggangguku” (HR. Bukhari & Muslim)
Kedua, hadis dari Ibnu Mas’ud radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Saya pernah memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau shalat. Beliau-pun menjawab salam kepadaku (dengan isyarat). Setelah berselang beberapa hari, kami pulang dari negeri Habasyah, aku memberi kepada beliau ketika shalat, namun beliau tidak menjawabnya. Kemudian beliau bersabda:
إِنَّ فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلًا
“Sesungguhnya dalam shalat, isinya hanyalah kesibukan” (HR. Bukhari & Muslim)
An-Nawawi mengatakan:
Makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa orang yang shalat, tugasnya hanyalah menyibukkan diri dengan shalatnya. Dia merenungi apa yang dia baca dan tidak mempedulikan yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 5/27)
Terkait kasus seseorang yang melihat aurat istrinya ketika shalat, atau melihat istri memakai pakaian dalaman sementara dia sedang shalat, bisa dipastikan akan mengganggu shalatnya. Sementara status shalatnya dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, jika dia melihatnya secara tiba-tiba, di luar kesengajaan, dan tidak keterusan, kemudian dia berusaha menundukkan pandangannya dan kembali menjaga kekhusyuan shalatnya maka tidak ada masalah dengan ibadahnya. Karena dia tidak sengaja melihatnya.
Kedua, orang tersebut melihatnya dengan sengaja dan bahkan terus memandang, hukum minimal untuk kasus ini adalah makruh. Karena perbuatan semacam ini bisa dipastikan akan membangkitkan syahwat, mengganggu shalatnya, dan menghilangkan rasa khusyu, yang merupakan ruh shalat.
Allahu a’lam

Nasihat, Teguran, dan Pelajaran

Nasihat, Teguran, dan Pelajaran

[1] Istighfar Palsu

Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullah berkata, “Betapa banyak orang yang beristighfar namun dimurkai. Dan betapa banyak orang yang diam namun dirahmati.” Kemudian beliau menjelaskan,“Orang ini beristighfar akan tetapi hatinya diliputi kefajiran atau dosa. Adapun orang itu diam, namun hatinya senantiasa berdzikir.” (Al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, karya al-Khathib al-Baghdadi, Hal. 69)

[2] Niat Menimba Ilmu

Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, Hal. 71)

[3] Guru Terbaik

Yusuf bin Al-Husein menceritakan, Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya,“Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasihat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasihatimu dengan ucapannya semata.” (Al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, Hal. 71-72)

[4] Rusaknya Hati

Muhammad bin Ya’qub rahimahullah berkata, “Suatu saat aku mendengar Al-Junaid ditanya mengenai hati, ‘faktor apa yang merusak hati seorang pemuda?” Maka beliau menjawab, “Rasa tamak atau hawa nafsu dan ambisi.” Lalu beliau ditanya, “Lantas apa yang bisa memperbaiki keadaannya?” Beliau menjawab,“Sikap wara’ atau menjaga diri dari yang diharamkan.” (Al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, Hal. 72)

[5] Kenali Dirimu!

Suatu saat ada seorang lelaki berkata kepada Malik bin Dinar, “Wahai orang yang riya’!”. Maka beliau menjawab, “Sejak kapan kamu mengenal namaku? Tidak ada yang mengenal namaku selain kamu.” (Al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, Hal. 93)

Beliau tidak menyalahkan seseorang yang merendahkannya denga menyebutnya sebagai pelaku riya’, padahal beliau adalah seorang ulama generasi tabi’in yang terkenal akan keshalehannya. Demikianlah keadaan orang shaleh, mereka merasa bahwa mereka adalah orang yang penuh dosa. Hati mereka begitu lembut dan suci sehingga setitik dosa pun begitu terasa. Demikian juga Rasulullah, beliau bertaubat kepada Allah 100 kali dalam sehari. Berbeda dengan seseorang yang memiliki hati yang gelap, dosa besar pun tetap membuatnya tersenyum dan berbangga.

[6] Antara Wajah dan Perbuatan

Sebagian orang bijak mengatakan, “Semestinya bagi orang yang berakal untuk senantiasa memperhatikan wajahnya di depan cermin. Apabila wajahnya bagus maka janganlah dia perburuk dengan perbuatan jelek. Dan apabila wajahnya jelek maka janganlah dia mengumpulkan dua kejelekan di dalam dirinya.” (Al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, Hal. 105)

Dan Simak Nasihat, Teguran, dan Pelajaran lainya di: http://bit.ly/yhT0v2

Monday, February 6, 2012

doa terburu-buru

Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam bersabda: “Doa salah seorang daripada kamu akan diperkenankan oleh Allah asalkan dia tidak terburu-buru lalu ia mengatakan: Aku telah berdoa, tetapi doaku belum diperkenankan." (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Tidak selayaknya bagi seorang muslim yang menginginkan suatu hajat hanya dengan menggantungkan hasilnya pada usaha yang telah dilakukannya. Karena itulah Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk berdoa dan memohon kepada-Nya. Pintu doa yang diberikan Allah SWT tidak terhingga luasnya selama hamba-Nya mau untuk berdoa.

Namun tidak jarang, jika di antara kita yang melupakan sebuah hal penting dalam berdoa; keyakinan bahwa Allah SWT akan mengabulkan doa setiap hambanya. Dengan begitu timbul lah sikap tergesa-gesa dan berputus asa ketika keinginan kita belum terkabulkan. Keadaan yang demikian telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW untuk seseorang yang terburu-buru berkata: "Aku telah berdoa, tetapi doaku belum diperkenankan."

Seringkali kalimat seperti itu terucap dari mulut kita tanpa kita sadari. Kita tidak yakin bahwa Allah SWT akan mengabulkan setiap doa kita. Sikap seperti itu merupakan salah satu bentuk prasangka buruk kepada Allah SWT –na'udzubillah min dzalik.

Dalam sebuah Hadis Qudsi riwayat Ibnu Majah, Allah SWT berfirman yang artinya: "Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku…" Jika seorang hamba yakin dan berprasangka baik bahwa Allah SWT akan mengabulkan doanya maka demikianlah hasilnya seperti yang telah dijanjikan Allah SWT. Namun sebaliknya, jika hamba tersebut tergesa-gesa menilai bahwa Allah SWT belum juga mengabulkan doanya maka hal tersebut dapat menjadi penghalang sebuah permohonan untuk terkabul.

Keyakinan kita bahwa Allah SWT akan mengabulkan permohonan kita harus ditanamkan dengan kuat ketika kita berdoa. Tidak hanya itu, ketika keyakinan tersebut terasa melemah maka seyogyanya kita selalu memperbaruinya.

Jika keyakinan kita itu terjaga dengan baik maka akan muncul kesabaran untuk tidak tergesa-gesa menvonis keputusan Allah SWT secara negatif. Kesabaran ketika berdoa dan memohon sesuatu kepada Allah SWT inilah yang tersirat dalam sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam di awal tulisan ini. 

Nabi Musa dan Nabi Harun yang berdoa agar Firaun diruntuhkan, menunggu selama 40 tahun hingga dikabulkan oleh Allah SWT. Seorang Nabi yang diutus oleh Allah SWT saja harus bersabar hingga Allah SWT berkehendak atas doanya. Maka tidak selayaknya kita menginginkan doa kita terkabul seketika. Tugas manusia hanyalah berusaha dan berdoa sedangkan segala keputusan mutlak milik Allah SWT. Sebagaimana manusia dan semesta ini hanyalah milik-Nya.

Dari Hadis Rasulullah SAW dan Hadis Qudsi tersebut di atas, kita dapat mengambil setidaknya dua pesan penting ketika kita memohon kepada Allah SWT. Yang pertama adalah tidak berputus asa dengan rahmat Allah SWT dan yang kedua tidak terburu memberikan persangkaan negatif pada Allah SWT. Allahu 'a'lam bisshawab.

Followers