bit.ly/facebookbayups bit.ly/blogspotbayups bit.ly/scholarbayups bit.ly/youtubebayups
Friday, December 28, 2012
Dosa-Dosa Kecil Dapat Menjadi Besar
Perlu diketahui bahwa dosa kecil dapat menjadi besar karena beberapa sebab, di antaranya:
1. Apabila dilakukan dengan konsisten dan terus menerus.
Oleh sebab itu dinyatakan oleh para Ulama As-Salaf, “Tidak ada yang namanya dosa kecil apabila dilakukan dengan terus menerus. Dan tidak ada yang namanya dosa besar, bila diiringi dengan taubat.
2. Karena diremehkan.
Sesungguhnya perbuatan dosa itu apabila dianggap berat oleh seorang hamba, akan menjadi kecil di sisi Allah. Namun sebaliknya apabila diremehkan, ia akan menjadi besar di sisi Allah. Karena anggapan sebuah dosa sebagai dosa yang besar, berpangkal dari hati yang benci kepadanya dan berupaya menghindarinya.
3. Apabila seorang hamba merasa senang melakukannya.
Kegembiraan, kebanggaan dan kelengahan seorang hamba terhadap dosa tersebut, menjadikannya sebagai dosa besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hatinya. Sampai-sampai ada pelaku dosa yang bangga dan berbesar hati dengan dosanya, karena terlalu gembiranya dia dengan perbuatan dosa tersebut.
Misalnya seperti orang yang berkata, “Tidakkah kamu mengetahui, bagaimana aku membuntuti si fulanah dan berhasil melihatnya?” atau seperti perkataan seseorang usai berdebat, “Tidakkah kamu mengetahui bagaimana aku kemukakan segala kejelekannya sehingga membuat dirinya malu? Dan bagaimana juga aku merendahkannya? Bagaimana aku membuatnya kebingungan?” Atau bisa juga seperti pernyataan seorang bisnisman, “Tidakkah engkau mengetahui, bagaimana aku dapat menjual barang palsu kepadanya? Bagaimana aku menipunya? Bagaimana aku lucuti hartanya? Bagaimana aku membuatnya seperti orang bodoh?” Kesemua perbuatan itu bisa merubah dosa-dosa kecil menjadi besar. Sesungguhnya dosa-dosa itu membinasakan! Apabila seorang hamba terjerumus kepada semua dosa-dosa itu, setan berhasil menggiringnya kea rah sana, maka hendaknya ia merasa bahwa dirinya berada di dalam musibah, dan mengasihani dirinya sendiri karena setan berhasil mengalahkannya, dan karena dirinya semakin jauh dari Allah.
4. Apabila menyepelekan pengampunan Allah, merasa santai dan kurang perhatian.
Ia tidak sadar bahwa kesantaiannya itu karena Allah memang membiarkannya demikian agar semakin bertumpuk dosa-dosanya. Ia justru beranggapan bahwa ia dapat berbuat maksiat karena Allah memang memberi peluang. Itulah yang dinamakan dengan “merasa aman” terhadap siksa Allah dan kebodohannya dengan tertipu oleh anggapannya terhadap Allah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah,
وَيَقُولُونَ فِي أَنفُسِهِمْ لَوْلا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakana itu?” Cukuplah bagi mereka Naar Jahannam yang akan mereka masuki. Dan naar itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” {Al-Mujadilah:8}
5.Apabila dosa itu dilakukan dengan terang-terangan.
Yakni apabila seseorang menyebut-nyebutnya setelah ia melakukannya, atau melakukannya dihadapan orang banyak. Yang demikian itu adalah tindakan makarnya terhadap ampunan yang seharusnya dapat diberikan kepadanya. Selain itu juga dapat mengundang hasrat orang lain yang mendengar atau melihatnya untuk ikut melakukan perbuatan dosa itu. Jadilah dua macam dosa terkumpul menjadi satu sehingga konsekuensinya menjadi lebih berat. Jika masih ditambah lagi dengan anjuran kepada orang lain dan ajakan untuk melakukannya, serta penyediaan sarana untuk melakukannya, jadilah empat kejahatan dalam satu perbuatan. Urusannya pun menjadi semakin jelek.
Dalam hadits disebutkan, “Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya, kecuali orang yang menyiarkan perbuatan dosanya. Contoh dari menyiarkan dosa adalah seorang laki-laki yang berbuat dosa di malam hari, pagi harinya Allah telah menutupi perbuatannya itu agar tidak diketahui oleh orang lain. Namun ia justru berkata, “Wahai fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu.” Di malam hari, hanya Allah yang mengetahui perbuatan dosanya, namun di pagi hari justru dia sendiri yang menyiarkannya.”
{HR. Al-Bukhori Muslim}
Yang demikian itu karena di antara sifat Allah dan karuniaNya adalah bahwa Dia ingin menampakkan yang baik-baik dan menyembunyikan yang buruk-buruk. Allah juga tidak akan menyingkap tabir keburukan. Maka menampakkan keburukan, berarti kekufuran terhadap karunia kenikmatan Allah tersebut. Sebagian Ulama berkata, “Janganlah kamu berbuat dosa, janganlah kamu anjurkan orang lain melakukannya, yang menyebabkanmu melakukan dua dosa sekaligus. Oleh sebab itu Allah berfirman,
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ
“Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan-perempuan, sebagian dari sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh yang munkar dan melarang berbuat ma’ruf.” {QS. At-Taubah:67}
Sebagian Ulama As-Salaf berkata, “Tidak pernah seseorang itu melakukan pelanggaran kehormatan yang lebih besar daripada menolong saudaranya melakukan maksiat dan mempermudah jalan maksiat itu kepadanya.”
6. Apabila dilakukan oleh orang alim yang menjadi panutan.
Apabila ia melakukan dosanya itu dengan disaksikan orang lain, dosanya menjadi dosa besar seperti menggunjing orang dengan lidahnya, atau berkata kasar dalam perdebatan, atau menyepelekan orang dengan sengaja, atau sibuk mempelajari ilmu yang bertujuan hanya untuk mencari kedudukan, seperti ilmu retorika perdebatan. Kesemuanya itu adalah dosa-dosa seorang alim yang cenderung ditiru orang lain. Ketika si alim meninggal dunia, kejahatannya tetap bertebaran di muka bumi dalam jangka waktu yang panjang.
Allah berfirman,
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ
“Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.”
{QS. Yasin:12}
Yang dimaksud dengan bekas-bekas yang mereka tinggalkan adalah pengaruh amal perbuatan yang masih terus ada setelah perbuatan itu bahkan pelakunya sendiri sudah tidak ada lagi.
[Dari Kutaib “Adz-Dzunub wa Qobhu Atsariha ‘Alal Afrad was Syu’uub, Ma’a Bayani Thuruqil Wiqoyati Minha, penulis; Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad.]
Subscribe to:
Posts (Atom)