Saturday, December 3, 2016

Tanggung Jawab Seorang Muslimah



Pada dasarnya tanggung jawab seorang wanita muslimah dan laki-laki muslim semuanya sama di hadapan Allah yaitu beribadah kepada-Nya, menjalankan fungsi kekhalifahan di atas muka bumi, menyeru pada yang haq dan berusaha menghindar pada yang munkar. Seperti yang telah dicantumkan dalam QS. An-Nisa: 124 yang artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.
Pada waktu tertentu, tanggung jawab wanita muslimah tidak kalah sedikit dibanding kaum laki-laki. Bahkan adakalanya lebih besar, karena jika dirinci secara mendetail terdapat jauh lebih banyak tugas wanita dibanding laki-laki, meski begitu keduanya memiliki porsinya masing-masing.
Di zaman sekarang ini banyak wanita merasa bangga ketika menjadi sosok yang hebat dan berhasil di dunia karirnya, di negeri barat sana bahkan banyak wanita yang menyengaja untuk memilih tidak mempunyai anak karena dianggap merepotkan dan mengganggu rutinitasnya. Na’udzubillah
Sebagai seorang muslimah tentu kita patut merenungi hakikat sosok seorang wanita itu sendiri. Mengapa Allah menciptakan hawa dengan segenap kekurangan dan kelebihannya? Mengapa wanita ditakdirkan mempunyai rahim dan sifat kasih sayang? Mengapa pula Allah memerintah agar kaum hawa senantiasa menjaga dirinya? Tentu semua itu karena wanita mempunyai peran yang cukup penting dalam sebuah kehidupan. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian periode kehidupan wanita muslimah beserta tanggung jawab yang patut diikhtiarkan dalam memenuhinya.
Dua Periode Kehidupan Wanita Muslimah
Pertama, Sebelum Menikah
Saat seorang wanita muslimah belum menikah, maka ia mempunyai tanggung jawab untuk menunaikan hak-hak kedua orang tuanya. Beberapa tanggung jawab wanita muslimah terhadap kedua orang tuanya antara lain:
1. Birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua)
Allah azza wa Jalla memberikan kedudukan tinggi dan mulia kepada orang tua. Allah meletakkan kedudukan tersebut setelah kedudukan iman dan tunduk patuh pada-Nya. Seorang muslimah yang menyadari akan petunjuk Illahinya itu tentu akan berusaha untuk selalu berbakti kepada kedua orang tuanya. Tanggung jawab ini tidak akan berhenti sampai berumah tangga nanti, akan tetapi terus berlanjut hingga akhir hayatnya. Meski setelah menikah sosok terpenting untuk dihormati adalah suaminya sendiri.
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam menempatkan birrul walidain di antara dua amalan terbesar dalam Islam, yaitu shalat pada waktunya dan jihad di jalan Allah, karena shalat merupakan tiang agama, sedangkan jihad di jalan Allah adalah puncak perjuangan tertinggi dalam Islam. Di sisi lain ada pula hal penting yang perlu menjadi perhatian yaitu berusaha berbuat baik kepada kedua orang tua meski keduanya bukan muslim. Seperti yang dikisahkan dalam hadits berikut ini:
Asma binti abu Bakar RA berkata: “Ibuku pernah mendatangiku, sedang dia seorang musyrik pada masa Rasulullah, lalu aku meminta petunjuk kepada Rasul: “Ibuku telah datang kepadaku dengan penuh harapan kepadaku, apakah aku harus menyambung hubungan dengan ibuku itu?” Beliau menjawab: “Benar, sambunglah hubungan dengan ibumu!” (Muttafaq ‘alaih).
2. Menghormati dan menjalin hubungan yang baik terhadap kerabat-kerabatnya
Menghormati kerabat orang tua berarti menjalin silaturahim yang baik dan memelihara hubungan kekeluargaan dengan kerabat mereka baik dari jalur ibu dan bapak seperti paman, tante, sepupu, dan kerabat yang lainnya.
3. Mendoakan dan Memohonkan Ampun
Dalam sebuah hadits pernah diceritakan, bahwa ada orang tua yang bertanya-bertanya kepada Allah pada hari pembalasan karena mendapatkan nikmat surga, lalu Allah menjawab bahwa itu karena doa anaknya yang shalih (Muttafaq ‘alaih).
Dalam Al-Quran surah Al Israa: 24 juga difirmankan bahwasanya Allah memberikan tuntunan bagaimana seharusnya seorang anak tidak melupakan orang tuanya dalam doa.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”. (Al Israa: 24)
Mendoakan kedua orang tua berarti berbakti kepada mereka, bentuk amal kebajikan yang tidak akan terhalang hingga di hari pembalasan. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa salah satu di antara 3 amal manusia yang tidak putus salah satunya adalah doa anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.
Mendoakan juga merupakan bentuk ikhtiar untuk mempererat hubungan ruhiyah antara anak dan orang tua kepada Allah. Bagi wanita muslimah ini sangat utama karena pada akhirnya ia juga akan menjadi seorang ibu. Sehingga ia akan menghayati betapa berartinya sebuah doa dari anak-anaknya. Dalam mendoakan tidak hanya meminta kebaikan bagi mereka saja tetapi memohonkan ampun atas dosa-dosanya. Tentu kita ingat ketika kita masih kecil, kedua orang tua kita lah yang selalu merawat dan mendoakan agar kita tumbuh besar, sehat, cerdas, dan beriman, bahkan hingga kita dewasa dan sering berbuat kekhilafan, seringkali mereka memaafkan dan memohonkan ampunan bagi kita. Setiap doa dari mereka bahkan senantiasa diucapkan dengan penuh ketulusan tanpa putus.
4. Menunaikan Janjinya
Meski seorang wanita kita juga mempunyai tanggung jawab untuk menunaikan janji kedua orang tua kita meski keduanya telah meninggal. Pernah dikisahkan seorang wanita dari suku Juhainah datang menghadap Nabi SAW, selanjutnya wanita itu bertutur:
“Ibuku pernah bernadzar untuk menunaikan ibadah haji tapi ia meninggal sebelum sempat menunaikannya. Apakah aku harus berhaji untuknya?” Nabi menjawab, “Ya, berhajilah untuknya, bukankah engkau mengetahui bahwa apabila ibumu mempunyai uang engkau akan membayarnya, karena itu tunaikanlah haji, karena hak Allah itu lebih wajib untuk dipenuhi.” (HR. Bukhari).
Oleh karena itu penting bagi wanita muslimah mengetahui dan berusaha menunaikan janji termasuk utang kedua orang tuanya. Sehingga dapat membebaskan kedua orang tuanya ketika ditanya tentang utang-utangnya ketika akhirat nanti.
Kedua, setelah menikah
Periode berikutnya adalah periode baru dalam kehidupan seorang wanita muslimah, karena setelah menikah berarti ia memasuki kehidupan berkeluarga untuk membentuk rumah tangga Islami. Pada periode ini, ada beberapa tahap yang perlu dipelajari, karena ketiganya merupakan bagian tanggung jawab yang besar:
1. Tanggung Jawab Terhadap Suami
Taat pada suami
Ketaatan seorang wanita muslimah pada suaminya adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung. Di balik perintah Allah ini terkandung berbagai keutamaan, antara lain:
Masuk pintu surga dari pintu surga mana saja yang dikehendaki. Rasulullah Sallalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:
“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, shaum di Bulan
Ramadhan, dan taat kepada suaminya maka ia berhak masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki” (HR Ahmad dan Thabrani).
Mendapat ampunan
“Burung-burung di udara, hewan di lautan, dan para Malaikat akan memohon ampunan kepada Allah bagi seorang wanita yang taat pada suaminya dan suaminya ridha kepadanya” (Muttafaqun ‘alaih). Perlu kita perhatikan bahwasanya ketaatan seorang istri kepada suaminya tentulah selama suaminya mengajak kepada kebaikan dan tidak mengajak bermaksiat kepada Allah.
Menjaga kehormatan suami
Amanah yang sungguh berat, karena kehormatan suami juga merupakan kehormatan istrinya. Dalam menjalankan tanggung jawab tersebut memang tidak mudah, sehingga pantaslah seorang suami ditakdirkan menjadi imam dalam sebuah rumah tangga, karena seorang suami berhak membimbing istrinya agar juga menjaga kehormatan suami dan keluarganya. Dalam hal ini keduanya mempunyai peran untuk saling mengingatkan agar kehormatan keluarga tetap terjaga dan tidak terjerumus dalam fitnah.
2. Tanggung jawab terhadap anak-anak
Selain menjaga kehormatan pada suami ada pula tanggung jawab seorang muslimah sebagai seorang ibu. Dalam hal ini peran dan tanggung jawab seorang ibu untuk mendidik anak-anak mereka jauh lebih utama dari pekerjaan kantornya sekalipun (bila mereka bekerja), karena pada hakikatnya yang bertanggung jawab mencari nafkah adalah seorang suami, sedang wanita berkewajiban untuk taat selama diperintah dalam kebaikan, ketaatan itu salah satunya dengan menjaga dan mendidik anak-anaknya.
Pendidikan anak sangat disarankan untuk memulainya sejak dini, bahkan sedari dalam kandungan. Oleh karena itu para muslimah harus mencari sosok imam yang baik bagi anak-anak mereka nanti, yaitu laki-laki shalih yang berilmu dan cukup finansialnya, sehingga ia akan bertanggung jawab sepenuhnya kepada istri dan generasi keturunannya di dunia dan insya Allah di akhirat kelak. Hal ini juga tercantum dalam QS. An-Nisa: 9 yang artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” 
3. Tanggung jawab terhadap masyarakat
Wanita muslimah yang sudah berumah tangga bukan berarti mereka hanya berdiam diri di dalam rumah dan enggan bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya. Baiknya mereka tetap beramar ma’ruf di lingkungan masyarakat, bahkan berusaha menjadi teladan yang baik, seperti tidak tamak dan sombong. Meski hal itu merupakan kewajiban, tentulah dalam prakteknya harus mendapat izin dari imam di keluarga tersebut, karena sejatinya seorang istri adalah makmum dari suami yang sama-sama tinggal dalam sebuah lingkup masyarakat dan masyarakat sendiri merupakan lahan dakwah yang utama bagi mereka.
Allahu a’lam bisshawab.
Astaghfirullahal ‘adzim.

UNTUK ISTRI, TARBIYAH, DAN JAMAAH




A.    Istri sebagai muslimah
Menjadi seorang muslimah yang sholihah merupakan sebuah pilihan dengan perjuangan dan keteguhan hati yang kuat agar tidak kembali berpaling dari ketaatan jalan-Nya. Sebuah hidayah yang harus diusahakan dengan doa dan ikhtiar yang sungguh-sungguh demi mengharapkan pahala di dunia dan akherat kelak. Tertuang dalam kitab suci Al Qur'an dengan penjelasan ulama yang terpercaya, diantaranya sifat atau ciri wanita sholehah adalah sebagai berikut ini.
1. Menjaga dan menundukkan pandangan.
Dalam surat An Nur ayat 30 disebutkan bahwa : "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Dalam kaidah syar'i ketika yang diseru adalah seorang laki-laki maka secara otomatis muslimah pun juga ikut didalamnya. Termasuk juga dalam masalah menjaga pandangan dan memelihara kemaluan ini. Ghaddul bashar adalah menundukkan atau menjaga pandangan, sehingga pandangan tertuju ke tanah, tidak diangkat ke atas. Maksudnya adalah menghindarkan pandangan dari melihat dan menikmati yang bukan mahram beserta seluruh perhiasan yang ada. Dan ternyata menundukkan pandangn ini merupakan karakter bidadari yang tersebut dalam ayat, " Disisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya.” (Ash-Shaffat:48). D
alam sebuah hadist dikuatkan mengenai pandangan ini sebagai berikut,"Pandangan mata adalah panah beracun di antara panah-panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku maka Aku ganti dengan keimanan yang dirasakan manis dalam hatinya.” (HR. Hakim).

Semoga kita termasuk orang yang bisa menundukkan pandangan pada lawan jenis dimanapun kita berada.
2. Menjaga lisan.
Lisan ibarat seorang raja dalam anggota tubuh kita. Semua tunduk dan patuh padanya, dan ketika ia lurus maka lurus pula semua anggota tubuh yang ada. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila anak cucu Adam masuk waktu pagi hari, maka seluruh anggota badan tunduk kepada lisan, seraya berkata, 'Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami, karena kami mengikutimu, apabila kamu lurus, maka kami pun lurus, dan apabila kamu bengkok, maka kami pun bengkok'." (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad).
Seseorang akan bisa mengendalikan lisannya dengan tali kekang syariat sehingga tidak mengucapkan kata-kata kecuali yang bermanfaat untuk dunia dan akherat kelak. Tidak seorang pun dapat selamat dari tergelincirnya lisan kecuali dengan pengendalian tersebut. Bahkan bahaya yang diakibatkan oleh lisan bisa membuat bahaya yang tidak bisa kita fikirkan.
3. Wanita muslimah sholehah taat pada suami tercinta.
Selalu menjaga suami dengan seiya sekata, sayang padanya, tidak mengeraskan suara dan perkataan kepadanya, menjaga hartanya, menasehatinya dengan lembut, memelihara kesejahteraan, serta tidak menyakiti hatinya. "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (Annisa:34)

Adapun kedudukan seorang suami dihadapan istri, Dari Abu Huraira ra, Nabi SAW. bersabda : “ Sekiranya aku boleh menyuruh seseorang sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri sujud kepada suaminya. “ ( HR. Tirmidzi ) Istri diwajibkan mentaati suaminya selama perintah-perintah itu benar atau bukan dalam kemaksiatan, maka istri wajib menta’atinya.
4. Berusaha mendidik anak dengan kasih sayang
Untuk menjadi muslim yang taat pada Allah swt, mengajarkan aqidah tauhid yang benar, menanamkan dalam hati kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhkan dari perbuatan tercela dan kemaksiatan. Allah berfirman, artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim:6)

B.     Tarbiyah jalanku
"Apa maksud TARBIYAH?," tanyaku. Penjelasan tarbiyah yaitu:
“Cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung melalui kata-kata maupun secara tidak langsung dalam bentuk keteladanan, sesuai dengan sistem dan peringkat khusus yang diyakini, untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik”(Dalam buku Manhaj Tarbiyah ‘indal Ikhwanul Muslimin).
Tarbiyah islamiyah adalah proses penyiapan manusia yang shalih, yakni agar tercipta suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan tindakannya secara keseluruhan. Tarbiyah berasal dari bahasa Arab yang berarti pendidikan, sedangkan orang yang mendidik dinamakan Murobbi.
Dari berbagai studi dan teori yang telah dilaksanakan dipaparkan bahwasanya untuk mencapai perubahan yang baik tidak hanya diperlukan sarana dan prasarana yang lengkap maupun manajemen yang mantap. Tapi masyarakat di dunia ini sepakat bahwa perubahan yang paling utama dan mendasar bagi setiap perubahan lainnya adalah perubahan dalam diri manusia itu sendiri. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala :"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (Ar-Ra'du : 11)
Apabila kita merujuk kepada kamus bahasa Arab kita akan mendapatkan bahwa kata "Tarbiyah" sedikitnya memiliki tiga asal kata ; Pertama, robaa-yarbuu yang berarti bertambah dan berkembang. (ar-Rum : 39). Kedua, robiya-yarba yang berarti tumbuh dan terbina. Dan ketiga, robba-yarubbu yang berarti mengishlah, mengurus dan memberi perhatian.
Kemudian para ulama mengembangkan pengertian lughowi ini menjadi pengertian istilahi dari tarbiyah. Imam Baidhawi (685 H) mengatakan dalam tafsirnya "Anwarut-Tanzil Wa Asrarut-Ta'wil", 'Makna asal dari kata "Robb" adalah tarbiyah yaitu menghantarkan sesuatu secara bertahap sampai tingkat kesempurnaan.'
Ustadz Abdurrahman Al-Bani dalam tulisannya "Madkhal Ilat-Tarbiyah" menegaskan bahwa kata "Tarbiyah" itu memiliki empat unsur makna : -Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak. -Kedua, mengembangkan potensi dan menyiapkannya. -Ketiga, mengarahkan fitrah dan petensi tersebut secara baik dan sempurna. -Keempat, bertahap dalam menjalankannya sebagaimana yang diisyaratkan oleh Imam Baidhawi di atas. Dari dasar-dasar pengertian tarbiyah di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Tarbiyah adalah sebuah amaliyah yang memiliki sasaran dan tujuan
2. Murabbi (pendidik) yang sebenarnya adalah Allah swt yang telah menciptakan fitrah manusia dan menganugerahkan berbagai potensi kepada manusia. Dialah yang telah menggariskan konsep dan tuntunan untuk mengembangkannya sebagaimana Ia telah mensyari'atkan sebuah aturan untuk mengatur pelaksanaannya.
3. Tarbiyah menuntut kita untuk membuat perencanaan yang bersifat bertahap dan teratur sesuai dengan marhalah-marhalahnya.
4. Tugas Murabbi harus mengikuti dan tunduk kepada aturan Allah dan tuntutan dien-Nya.

Tarbiyah islamiyah merupakan kewajiban atas setiap orang tua dan pendidik dan amanat yang harus dipikul dari generasi ke generasi, dan celakalah bagi siapa saja yang menghianatinya atau menyimpang dan keluar dari tujuannya. Tujuan tarbiyah islamiyah adalah membina dan mendidik manusia agar bertahkim kepada syari'ah Allah dalam segala prilakunya dengan penuh kepasrahan dan tidak ada rasa sempit dan keberatan sedikitpun di dalam dadanya. (lihat : An-Nisa : 65) Kemudian surat Al-'Ashr, sebagaimana dikatakan oleh DR. Abdurrahman AnNahlawi, juga mengisyaratkan bahwa agar manusia selamat dari kerugian dan siksa Allah, harus dilakukan tiga hal :

- Tarbiyatul fardi (membina individu) di atas landasan iman kepada Allah, istislam kepada syari'ah-Nya dan iman kepada yang ghaib.
- Tarbiyatun-nafs (membina jiwa) agar beramal shalih dan dan membiasakan hidup sehari-hari sesuai dengan manhaj Islam.
- Tarbiyatul mujtama' (membina masyarakat) agar senantiasa saling berwasiat untuk mengamalkan kebenaran dan sabar dalam menghadapi cobaan dalam beribadah kepada Allah swt.

C.     Tarbiyah jamaahku
Tarbiyah di Indonesia merupakan suatu fenomena gerakan keagamaan yang unik. Hal ini dikarenakan gerakan ini meskipun dapat digolongkan dalam gerakan modernism Islam akan tetapi sulit dicari hubungannya dengan gerakan keagamaan yang telah ada di Indonesia sebelumnya seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, dan lain sebagainya. Gerakan Tarbiyah ini justru memiliki suatu hubungan yang erat dengan pengaruh gerakan Islam transnasional yang berkembang di Mesir yang lahir pada tahun 1928, Ikhwanul Muslimin (IM), yang pada dasawarsa kedua abad 20 mulai menyebar pengaruhnya ke berbagai negara. Pengaruh gerakan  dan pemikiran IM di Indonesia tidak memiliki nama yang resmi. Metode (manhaj) yang digunakan ialah usrah. Usrah yang berarti keluarga merupakan manhaj yang diciptakan oleh IM untuk melaksanakan suatu pendidikan islam bagi anggota-anggotanya.
Nama Usrah yang di awal dikenal perlahan mulai ditinggalkan karena kata usrah dianggap seperti mengandung suatu kerahasiaan dan eksklusifisme. Dengan model yang tidak jauh berbeda, pada pertengahan 80-an kegiatan-kegiatan keislaman dalam kelompok-kelompok kecil di masjid kampus itu dikenal sebagai Gerakan Tarbiyah. Gerakan ini mendapatkan pengaruh yang sangat kuat dari sistem dan manhaj dakwah yang dikembangkan IM. Transformasi tersebut semakin besar dengan semakin banyaknya buku-buku dari tokoh IM yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Tujuan pendidikan Islam (at-Tarbiyah al-Islamiyah) menurut IM ada lima, pertama, menjalankan ibadah kepada Allah swt berdasarkan syariat Islam. Kedua, menegakkan khilafah di muka bumi ini disertai dengan aktivitas pemakmuran bumi dan pemanfaatan segala sesuatu yang Allah berikan untuk manusia. Ketiga, saling mengenal sesama manusia untuk hidup dengan landasan kasih sayang dan persaudaraan, terutama sesama umat Islam. Keempat, mencapai kepemimpinan dunia. Kelima, menegakkan hukum yang berlandaskan syariat Islam dalam tatanan global. Menurut IM, tujuan pendidikan Islam di atas memiliki ruang lingkup individu, keluarga, masyarakat, umat Islam secara keseluruhan dan tingkat negara.
Proses tarbiyah terjadi terus menerus dimana para anggota akan dididik melalui proses pendidikan sampai pada tingkatan anggota tertinggi yang siap menjalankan tugas yang lebih besar. Selain daripada itu, para kader yang telah terdidik akan berinteraksi dengan lingkungannya sesuai dengan kemampuan jangkauan mereka, kemudian menjadi penyeru sekaligus pendidik (murabbi) Islam di lingkungannya. Melalui tarbiyah yang sistematis dan berkesinambungan dengan berpedoman pada Al Quran, Hadis, dan kehidupan para salafus sholih (orang saleh terdahulu), serta berpegang pada ushul fiqih (dasar-dasar hukum fiqih) dan qowa’id syar’iyyah (kaidah syariah) diharapkan dapat membentuk suatu kebangkitan dan kekuatan umat untuk mengibarkan fikroh (pemikiran)  Islam.
Salah satu cara untuk mengimplementasikan tarbiyah yakni dengan melaksanakan halaqoh. Halaqoh berasal dari kata liqo yang berarti pertemuan atau perjumpaan. Halaqoh pada dasarnya adalah kelompok pembinaan yang dilakukan untuk mengkader orang-orang yang mau untuk ikut bi’ah Islam dengan jumlah yang terbatas, biasanya satu kelompok itu 10-12 orang, dibimbing oleh satu fasilitator yang disebut dengan murabbi. Halaqoh berfungsi sebagai sarana pembinaan akidah, ibadah, akhlak, dan wawasan seseorang sehingga dapat mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.
Dalam setiap halaqoh biasanya terdapat murabbi yang berperan sebagai pemimpin dan Pembina halaqoh, dan mutarabbi yang berperan sebagai peserta didik. Oleh karena itu, halaqoh dapat berperang seperti keluarga, sekolah, maupun kelompok pergaulan. Biasanya halaqoh berdurasi 2 hingga 3 jam diisi dengan pembacaan Al Quran, pemberian materi oleh murabbi, dan penyampaian taushiyah (nasihat). Halaqoh ini dapat dilaksanakan di masjid, kelas, taman, ataupun rumah anggotanya secara bergantian. Metode halaqoh ini mirip dengan metode usrah yang diadopsi dari IM karena tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan Tarbiyah banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran-pemikiran IM.
DAFTAR PUSTAKA


Followers