Permendagri itu sendiri
awalnya untuk menggantikan aturan yang telah ada sebelumnya, yaitu
Permendagri Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor
64 Tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian.
“Dengan berbagai pertimbangan saya sebagai Mendagri membatalkan Permendagri tersebut,” ujar Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo melalui pesan singkatnya, Selasa malam (6/2/2018).
Dengan dibatalkannya
permendagri tersebut, maka otomatis aturan mengenai aturan soal
penerbitan SKP kembali ke permendagri yang lama.
“Kembali dulu ke aturan lama. Prinsipnya dibatalkan,” kata politisi PDI-Perjuangan tersebut.
Permendagri tersebut juga
sejatinya belum lama terbit yakni baru pada 11 Januari 2018 lalu.
Bahkan, Kemendagri belum mengedarkan serta menyosialisasikan aturan baru
tersebut.
Untuk perbaikan,
Kementerian Dalam Negeri rencananya akan meminta masukan terlebih dulu
dari para akademisi dan peneliti serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
melalui focus group discussion (FGD).
“Menyerap aspirasi kalangan akademisi, lembaga penelitian dan DPR,” kata Tjahjo.
Permendagri tersebut awalnya dikeluarkan untuk mengatur rencana pelaksanaan penelitian di seluruh wilayah Indonesia.
Tujuan diterbitkan SKP itu
sebagai bentuk tertib administrasi dan pengendalian pelaksanaan
penelitian dalam rangka kewaspadaan terhadap dampak negatif yang
diperkirakan akan timbul dari proses penelitian.
Akan tetapi, tak dijelaskan lebih lanjut soal ukuran dampak negatif tersebut. Hal inilah yang memicu penolakan publik.
SKP tidak akan diterbitkan jika instansi terkait menganggap penelitian yang akan dilakukan punya dampak negatif.
Padahal, dalam permendagri
terdahulu, Kemendagri hanya akan menolak menerbitkan SKP jika peneliti
tidak mendapat tanda tangan dari pimpinan yang bersangkutan.
KOMPAS.com
No comments:
Post a Comment